Majalah Ilmiah UNIKOM
Vol.6, No. 2
135
H a l a m a n
Relevance
Sensitivity
Reliability
Acceptability
Practicality
III. Falsafah Manajemen Kinerja
Pertanyaan yang sering muncul didalam
benak eksekutif perusahaan. Mereka
yang merasa telah berkinerja baik boleh
jadi menganggap manajemen kinerja bu-
kan prioritas utama. Mereka melihat
manajemen kinerja tak ubahnya ilmu
ringan dengan keuntungan nyata di
depan mata. Benarkah anggapan
tersebut? Ternyata bentuk solusi
Enterprise Performance Management
(EPM) dapat memberi perbedaan
mendasar dalam upaya perusahaan
m ene nt uk an
s t rat eg i,
renc a na,
forecasting, monitoring serta mengelola
kinerja bisnis. Akan tetapi, hal itu tak
mudah dicapai.
Banyak perusahaan tertantang untuk
menjawab beberapa pertanyaan tentang
kreasi nilai dan pengelolaan kinerja
perusahaan. Mereka mengeluarkan biaya
cukup banyak dalam mengimplementasi
Enterprise Resource Planning,
data warehouse
keuangan, sistem penentuan bujet dan
f o r e c a s t i n g
s e r t a
p e r a n g k a t
scorecard/dashboard yang tidak
terintegrasi.
Berdasarkan penelitian Accenture dan
data sekunder, ditemukan karakteristik
umum untuk menjelaskan mengapa
perusahaan-perusahaan sering bergulat
dengan masalah kinerja, yaitu :
1) Metriks yang salah. Hanya 23% dari
perusahaan yang menggunakan
sistem balanced scorecard memiliki
bukti keterkaitan yang jelas antara
scorecard dan pertumbuhan nilai
pemegang saham. Hanya 12%
perusahaan mengaitkan kualitas
pengukuran dengan nilai saham, dan
paling tidak ada 70% perusahaan
menerapkan metriks yang tidak
memiliki
validitas
memadai.
Kekurangan ketepatan di dalam
m e t r i k s
i n i
m e m u n c u l k a n
kebingungan dan menghalangi
eksekusi strategi.
2) Biaya kualitas data. Estimasi total
biaya yang keluar untuk aplikasi data
warehousing mencapai lebih dari
US$ 40 miliar/tahun. Dari nilai
tersebut, 60% lebih dipergunakan
untuk membersihkan data. Bahkan
dengan investasi besar ini, sering
h a s i l
y a n g
k e l u a r
s a n g a t
kontraproduktif; 60% dari pegawai
merasa terkesima dengan jumlah
informasi yang mereka terima dan
43% manajer percaya bahwa
keputusan-keputusan
penting
tertunda dan kemampuan membuat
keputusan
terpengaruh
oleh
banyaknya informasi yang diterima.
3) Sistem manajemen diabaikan dan
aset yang menghasilkan nilai tidak
terkelola baik. Hanya 25% dari 500
peringkat valuasi S&P dapat
dikatakan memiliki kinerja keuangan
yang baik. Sisanya terdiri dari bentuk
intangible. Studi atas 300 investor
(termasuk investor skala besar,
institusi investor, manajer portofolio
dan peneliti) mengindikasikan 50%
keputusan alokasi pendanaan
berdasarkan kinerja nonfinansial.
4) Insentif yang salah. Pengalaman dan
penelitian Accenture menunjukkan
b a n y a k
o r g a n i s a s i
y a n g
menempatkan insentif yang salah
untuk meningkatkan kinerja. Di
a n t a r a n y a ,
i n s e n t i f
u n t u k
m e n i n g k a t k a n
k i n e r j a
y a n g
berasaskan metriks keuangan tanpa
keterkaitan yang mengarah pada
penciptaan nilai pemegang saham di
jangka panjang. Di samping itu,
insentif condong sangat pendek
waktu dan tidak diimbangi kinerja
jangka pendek dan jangka panjang.