Majalah Ilmiah UNIKOM
Vol.6, No. 2
215
H a l a m a n
kondisi bisnis sedang tidak menguntung-
kan, setiap orang menggabungkan kekua-
tannya dan bekerja sama untuk memban-
gun kembali perusahaan mereka. Ataupun
ketika terjadi krisis ekonomi, mereka me-
lakukan apa saja yang dapat membuat
mereka keluar dari resesi tersebut.
Bisa dikatakan, Jepang merupakan negara
yang selalu dilanda bencana alam. Se-
jarah mencatat bahwa negara ini acap kali
dilanda angin ribut, gempa bumi, gelom-
bang pasang, dan ledakan gunung berapi.
Hal ini mendorong kerjasama untuk mem-
bangun pemukiman, sehingga menimbul-
kan terjalinnya hubungan yang erat dan
solidaritas diantara orang-orang Jepang.
Seperti pepatah Jepang mengata-
kan,”Mengubah bencana menjadi ke-
beruntungan“, yang membuat orang
Jepang juga memiliki sikap optimis dalam
bekerja untuk mengubah naik-turunnya
keberuntungan dan mengubah bencana
yang ada di sekitarnya ke arah yang lebih
positif. Di mana setiap orang mengga-
bungkan kemampuannya mereka dan
bekerja sama sehingga membuat proses
pemulihan menjadi lebih cepat. Hal ini
pula yang membuat Jepang begitu cepat
membangun kembali negaranya dari ke-
hancuran setelah kekalahannya pada per-
ang Dunia II.
Dengan adanya rasa solidaritas kelompok,
membuat pemimpin perusahaan di Jepang
selalu memperhatikan karyawannya. Tidak
seperti yang terjadi di Amerika atau Eropa,
pada saat suatu perusahaan mengalami
kesulitan seorang pemimpin perusahaan
di Jepang tidak mudah untuk memberhen-
tikan karyawan perusahaannya. Karena
hubungan antara pemimpin dengan ang-
gota di Jepang lebih banyak dipengaruhi
oleh faktor emosional dibandingkan den-
gan dunia Barat. Oleh sebab itu, dalam
perusahaan-perusahaan di Jepang hubun-
gan antara pemimpin dan karyawan jauh
lebih dekat daripada di dunia Barat.
Selain itu, para anggota yang juga mengu-
tamakan solidaritas kelompok, rasa per-
satuannya dengan organisasi diperkuat
lagi melalui musyawarah diantara mereka
untuk mempertinggi produktivitas perusa-
haannya. Sebagai contoh, di salah satu
pabrik besar di Jepang yang memproduksi
alat-alat berat, para pekerja setiap ming-
gunya mengadakan musyawarah selama
satu jam dalam kelompok kerjanya. Dalam
musyawarah itu, mereka membicarakan
hal-hal yang perlu dilakukan untuk men-
ingkatkan produktivitas pabriknya. Hal ini
membuktikan bahwa pemimpin senan-
tiasa memperhatikan setiap pendapat
kelompok yang diperoleh melalui konsen-
sus para anggotanya dan juga senantiasa
memperhatikan keberadaan setiap ang-
gota kelompoknya, karena mereka mem-
bentuk satu kelompok secara bersama-
sama.
RASA MEMILIKI
Rasa keanggotaan sebagai bagian dari
perusahaan sebagaimana yang didapat
sebagai bagian dari anggota keluarganya,
pada akhirnya melahirkan suatu sistem
manajemen dengan pendekatan kekeluar-
kazokushu-
giteki.
luargaan dalam manajemen kerja, se-
hingga menimbulkan “rasa memiliki” yang
tinggi terhadap perusahaan tempat di
mana mereka bekerja. “Rasa memiliki”
sebagaimana yang mereka rasakan terha-
dap rumah sendiri ataupun terhadap kam-
pung halaman mereka, begitu pula terha-
dap perusahaan tempat mereka bekerja.
Adalah suatu kebiasaan di Jepang jika
ditanya mengenai pekerjaannya, mereka
selalu menjawabnya dengan menyebutkan
nama perusahaannya. Selain itu, mereka
selalu menyebutkan perusahaan tempat
mereka bekerja dengan sebutan
“perusahaan saya“ atau “perusahaan
kami”. Ini merupakan gambaran bagai-
mana mereka mempunyai rasa memiliki
yang tinggi terhadap perusahaan tempat-
nya bekerja.