Page 1Page 2Page 3Page 4Page 5Page 6Page 7Page 8Page 9Page 10Page 11Page 12Page 13Page 14Page 15Page 16
Page 8 of 16Majalah Ilmiah UNIKOM
Vol.7, No. 1
68
H a l a m a n
untuk dikembangkan dan berlanjut
kepada motivasi. Hal ini juga
dipertegas Robert Bollles (dalam
Koeswara, 1989: 65) mengatakan
bahwa “dorongan dianggap lebih
memadai
untuk
menerangkan
motivasi dibandingkan teroi insting,
sebab konsep dorongan lebih siap
untuk diteliti dan mudah digunakan
untuk
memahami
motivasi”.
Sedangkan pengertian motivasi itu
sendiri menurut Winardi (2004:6)
adalah: “suatu kekuatan potensial
yang ada dalam diri seorang manusia,
yang dapat dikembangkannya sendiri
atau dikembangkan oleh sejumlah
kekuatan dari luar yang pada intinya
berkisar sekitar imbalan moneter dan
imbalan non moneter, yang dapat
mempengaruhi
hasil
kinerjanya
secara positif atau negatif hal mana
tergantung pada situasi dan kondisi
yang dihadapi yang bersangkutan”.
Pendapat ahli tersebut, motivasi
rewardpunishment
(ganjaran, hadiah dan hukuman).
Oleh karena itu, agar pegawai dapat
bekerja dengan sungguh-sungguh
dalam
memberikan
pelayanan
perijinan yang berkualitas harus
dipenuhi
tingkat
kesejahteraan
pegawai. Seperti kebutuhan fisiologis
(kebutuhan akan sandang dan
pangan), kebutuhan non moneter
(kebutuhan
sosial
seperti
persahabatan,
penghargaan,
kesempatan untuk berkembang).
c.
Dimensi Sikap.
Mar’at
(1981:21)
mengatakan
pengertian sikap secara operasional
“diartikan
derajat
atau
tingkat
kesesuaian
seseorang
terhadap
objek
tertentu”.
Jika
mengkaji
pendapat tersebut, maka perilaku
seseorang akan dapat diramalkan
jika
telah
diketahui
sikapnya.
Misalnya, seseorang menerima surat
kenaikan pangkat (motivasi non
moneter), ada kecenderungan sikap
tertawa dan gembira. Atau seseorang
menerima motivasi negatif dari
pimpinan berupa surat ancaman
penurunan
pangkat
(hukuman),
maka sikapnya akan tampak marah,
karena
ada
ketidak
sesuaian
(derajat) terhadap isi surat tersebut
terhadap kinerjanya. Karena itu,
sikap sangat penting diketahui untuk
meramalkan
perilaku
individu,
sebagaimana diungkapkan Nazsir
(1997:72) mengatakan bahwa “sikap
sering digunakan untuk meramalkan
tingkah laku apa yang akan terjadi
atau dilakukan oleh orang tersebut”.
d. Dimensi Nilai
Mar’at (1981: 11) mengungkapkan
“bahwa perkembangan seleksi dan
degenerasi tingkah laku individu yang
drives
dan akhirnya mencapai puncak pada
values.
kosistensi tingkah laku individu”.
Artinya, akumulasi dari pembentukan
perilaku memuncak pada sistem nilai
yang dianuti, seseorang mempunyai
nilai tampak dari perilakunya. Sebab
nilai itu sendiri menurut Milton
Rokeah
(dalam
Danandjaja,
1986:12)
“nilai
adalah
suatu
keyakinan abadi
bertindak yang khas, atau tujuan
eksistensi secara pribadi atau sosial
yang lebih diinginkan dibanding cara
bertindak atau tujuan hidup yang
bertentangan
atau
berlainan”.
Karena itu, tingkahlaku manusia
menganut sistem nilai tertentu
sebagaimana dikemukakan Siagian
(1995:109) yaitu “berupa pola
kelakuan atau alasan keberadaan
seseorang... sistem nilai yang dimilki
seseorang akan dikaitkan dengan
norma-norma yang menyangkut hal-
hal tertentu seperti yang “baik”,
“buruk”, “benar” atau “salah”. Islamy
(2004:120) juga mengatakan sistem
nilai adalah ”kaitan dan kebulatan
nilai-nilai, norma-norma dan tujuan-
Monang Sitorus