Majalah Ilmiah UNIKOM
Vol.10 No. 1
7
H a l a m a n
panggunaan unsur humor di dalam pesan
iklan akan mampu meningkatkan hasil dari
aktivitas promosi suatu produk tertentu?
Atau malah sebaliknya, humor bisa
“mengaburkan“ misi pesan iklan, dimana
terjadi bias perhatian pemirsa yang menjadi
target-marketnya. Dengan lain perkataan,
pemirsa menyaksikan iklan lantaran lebih
tertarik dengan humornya, dan bukan
karena alasan tertarik pada produk yang
diiklankan
Para praktisi periklanan di Negara
Amerika Serikat ternyata banyak yang tidak
sepenuhnya percaya terhadap kekuatan
humor di dalam iklan. Mereka beraggapan,
humor bisa saja menghibur, tetapi tidak
selalu membantu penjualan barang atau
jasa. Boleh jadi, tampilan iklan di Negara
Paman Sam menjadi tidak didominasi unsur
-unsur humor. Biro iklan disana lebih
senang memilih sejumlah nama aktris atau
aktor dan juga penyanyi top sebagai model
iklannya.
Perusahaan
minuman
Pepsi,
misalnya, di tahun 1984 memilih Michael
Jackson sebagai model iklannya dengan
bayaran US$ 4,5 juta. Kemudian di tahun
1989, Pepsi menandatangani kontrak
iklannya dengan penyanyi top Madonna.
Saat itu Madonna memperoleh US$ 5 juta
untuk tampil dalam film iklan Pepsi yang
durasinya hanya 2 menit. Ini sekedar contoh
untuk menggambarkan, betapa iklan harus
ditebus dengan biaya yang tidak murah agar
penampilannya bisa memancing perhatian
calon konsumen.
Namun di dalam bisnis periklanan,
bukan hanya cost yang mahal. Ide-ide untuk
tampilan iklan pun dihargai sangat mahal,
karena ia harus muncul dari daya imajinasi
dan proses kreativitas yang tinggi. Tidak
hanya itu, ide iklan yang baik hanya bisa
dihasilkan dari kadar intelektual yang
memadai,
naluri
yang
tajam
serta
pengalaman yang cukup dari para pencipta
iklan.
Fungsi
iklan
adalah
untuk
mempertemukan
konsumen
dengan
sesuatu produk. Dan tujuannya tentu saja
bukan untuk menghibur, tetapi untuk
memberi
informasi
kepada
khalayak
mengenai hal ikhwal sebuah produk. Walau
demikian , bukan berarti iklan tidak boleh
menghibur. Segala lelucon atau dagelan sah
-sah saja bila dijadikan “senjata” dalam
(to capture
attention)
calon
konsumen.
Dari
pemahaman ini, maka humor harus
diperlakukan sebagai “alat” dan bukan
merupakan tujuan. Dengan demikian, unsur
humor
harus
sinkron
dan
mampu
menunjang tercapainya tujuan, yakni
memberi informasi segala hal yang
berkaitan dengan produk yang ditawarkan.
human
nature
maka elemen efektifnya (sisi perasaan)
lebih berperan. Tidak heran jika perhatian
khalayak akan terpusat pada unsur humor,
yang mampu membuat hatinya senang. Ada
baiknya
kita
memikirkan
bagaimana
meramu unsur humor di dalam sebuah iklan
dengan tidak mengaburkan unsur informatif
dari produk yang ditawarkan. Artinya, kita
perlu
memperhatikan
takaran
menggunakan unsur humor di
dalam pesan-
pesan iklan.
Berhati-hatilah dalam menggunakan
cara humor sebagai pendekatan. Menurut
Max Sutherland iklan lucu akan mengurangi
audience
justru akan tertuju pada “lucunya” dan
bukan pada inti pesannya.Kata sutherland
lagi, iklan lucu hanya efektif jika persepsi
orand terhadap pesan sudah dianggap
positif
Jika takaran humor dipandang
remeh, bukan mustahil
akan muncul stimuli
unconditioned
stimuli
dirangsang untuk mengkonsumsi produk,
melainkan hanya dirangsang untuk tertawa.
Bahkan khalayak menertawakan produk
tersebut. Jelas ini tidak menguntungkan
usaha promosi dari suatu produk tertentu.
Akhirnya, membuat khalayak tertawa
dengan memadukan unsur-unsur humor di
dalam iklan boleh saja. Tetapi, jangan
sampai khalayak menertawakan produk
yang diiklankan.
Melly Maulin Purwaningwulan, S. Sos.,M. Si.