Majalah Ilmiah UNIKOM
Vol.10, No. 2
173
H a l a m a n
Indonesia adalah negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia,
ditambah dengan Malaysia dan Brunei
Darussalam negara dengan mayoritas-
muslim. Sedangkan Singapura, Phlipipina,
dan Thailand mempunyai minoritas
Muslim namun signifikan.
Menjadi khususnya perhatian AS terhadap
kawasan ini pasca tragedi WTC, bahkan
seorang analis kajian wilayah Asia/Pasifik
(Gershman , 2002) di AS mengatakan
bahwa saat ini Asia dapat dikatakan
sebagai prioritas kedua AS dalam
memerangi terorisme internasional. Asia
Tenggara juga disebut sebagai “rumah”
bagi kelompok-kelolpok atau gerakan
terorime (seperti Jemaah Islamiah (JI),
Abus Sayyaf dan Kumpulan Mujahideen
Malaysia (KKM)) yang disinyalir terlibat
dengan kasus WTC.
Terlepas apakah benar atau tidak
mengenai keterlibatan kelompok-
kelompok “Islam radikal” tersebut dengan
kasus 11 September, yang jelas telah
mengubah hubungan AS dengan negara-
negara Asia Tenggara. Intensitas
keterlibatan AS di Asia Tenggara
merefleksikan apa yang selama ini
terdengar dengan keras dari berbagai
laporan-laporan pers dan berbagai
kebijakan mengenai kekuatan dan bentuk
ancaman terorisme disana (Gershman ,
2002).
AS selama ini memeliki kecenderungan
melihat Asia Tenggara melalui lensa
Afghanistan yang akan mendorong
pembuat keputusan AS pada kesimpulan
dan kebijakan yang salah. Karena dengan
analogi demikian AS akan memberikan
pendekatan yang sangat militeristik.
Sementara itu, gerakan politik Islam, baik
violent
nonviolent
meningkat dan tumbuh dengan subur di
Indonesia sejak President Soeharto jatuh
pada 1998. Sejak pertengahan 1990,
sejumlah serangan terorisme telah
direncanakan di kawasan Asia Tenggara,
termasuk penyerangan terhadap kepala-
kepala gereja (pope), presiden Bill Clinton,
dan pesawat-pesawat komersial. Rencana-
rancana tersebut secara tidak sengaja
gagal . semua faktor diatas, digabungkan
dengan penangkapan beberapa orang-
orang dari jaringan Al-Qaeda yang
beroperasi di Asia Tenggara, terlihat
sebagai faktor pendorong yang cukup kuat
untuk melaksanakan perang terorisme di
wilayah ini (Gershman , 2002).
Oleh karena itu, mengapa AS menyusun
secara khusus Asia Tenggara sebagai
second front
terorisme. Meskipun hal tersebut pada
kenyataannya menghadirkan 4 masalah
yang berbeda (Gershman , 2002), yaitu:
1. Upaya AS menjadikan Asia Tenggara
sebagai urutan kedua dalam hal ini,
terlihat tidak menyadari bahwa ada
bentuk yang berbeda dalam politik
Islam di kawasan ini,
2. AS melupakan bahwa kemunculan
kelompok-kelompok teroris disebabkan
oleh weak states, minimnya kerjasama
internasional diantara negara-negara
kawasan tersebut, dan sejumlah
masalalah-masalah sosial, ekonomi,
ketidakseimbangan pembangunan,
serta institusi demokrasi yang rapuh.
3. Pendekatan AS ini juga terlalu
bergantung pada kerjasama militer
yang tidak memperhitungkan dan
s ejalan
d engan
pe l anggaran
kekebebasan Hak Asasi Manusia
(HAM), khususnya di Philipina dan
Indonesia.
4. Kampanye As ini juga merupakan
sebuah legitimasi atas perpecahan
yang lebih besar pada perbedaan para
pemimpinan kawasan ini dalam
memecahkan persoalan oposisinya
masing-masing.
Selain kelompok-kelompok Islam keras,
Asia Tenggara juga dikenal sebagai
“rumah” bagi kelompok-kelompok atau
Dewi Triwahyuni