Majalah Ilmiah UNIKOM
Vol.12 No. 1
86
H a l a m a n
firm
dan melaporkan kecurangan yang dilakukan
oleh perusahaan klien. Hal tersebut menjadi
perhatian auditor, karena apabila publik
menemukan kecurangan perusahaan yang
tidak diungkapkan oleh auditor, maka hal
itu dapat mengancam reputasi mereka, se-
lain itu menurut (Riyatno, 2007:149) men-
the
big four
audit dengan lebih berkualitas dibanding-
non the big four
ini karena KAP besar memiliki lebih banyak
sumber daya dan lebih banyak klien se-
hingga mereka tidak tergantung pada satu
atau beberapa klien saja, selain itu karena
reputasinya yang telah dianggap baik oleh
masyarakat menyebabkan mereka akan
melakukan audit dengan lebih berhati-hati.
Tetapi adanya skandal akuntansi seperti
enron, mengakibatkan publik terutama in-
vestor mempertanyakan kembali kualitas
audit yang telah dilakukan oleh suatu KAP,
terutama KAP besar yang telah memiliki
nama dan reputasi baik sehingga saat ini
terdapat penilaian skeptis dari publik bahwa
KAP besar tidak menjamin laporan keuan-
gan yang diaudit tidak mengandung kesala-
han yang material (Riyatno, 2007:150).
Fenomena yang terjadi di
Indonesia yaitu tidak sebandingnya jumlah
perusahaan yang harus diaudit dengan ban-
yaknya kantor akuntan publik, hal ini men-
yebabkan munculannya kantor akuntan
publik (KAP) “bodong” alias tidak berijin (Tia
Adityasih; 2010). Masih menurut Tia Adit-
yasih (2010) tingginya kebutuhan jasa akun-
tan publik, banyak pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab memanfaatkan kesem-
patan ini.
Data
yang
dihimpun
IAPI
menunjukkan, modus Kap “Bodong” terse-
but dengan cara memalsukan identitas
(surat izin, stempel, dll) dari akuntan publik
yang sah(Tia Adityasih; 2010). Laporan yang
dibuat pun sangat tidak memenuhi standar
yang ditentukan dan diperparah oleh para
pemakai jasa akuntan tidak memahami
praktek ilegal tersebut(Tia Adityasih; 2010).
Baru disadari ada pemalsuan nama, izin,
stempel, dan surat-surat tertentu dan bisa
juga ketika dicek biasanya akuntan palsu
tersebut tidak masuk dalam daftar akuntan
publik resmi (Tarkosunaryo; 2010).
IAPI menilai, maraknya akuntan
palsu
itu
dikarenakan
pemerintah,
khususnya Kementerian Keuangan, masih
lepas tangan dalam penangannya (Tia
Adityasih; 2010). Ketika kasus-kasus terse-
but dilaporkan maka pemerintah hanya
mengatakan pengaturan hanya dilakukan
terhadap akuntan yang mempunyai izin
resmi (Tia Adityasih; 2010).
Fenomena tersebut diatas mencip-
takan paradigma bahwa penggunaan jasa
akuntan publik hanya sebagai formalitas
dan bukan sebuah kebutuhan (Agus Su-
parto;2010). Dengan paradigma seperti itu,
ketika perusahaan mencari Kantor Akuntan
Publik bersikap asal-asalan, tak memper-
dulikan apakah kantor akuntan publik itu
sudah memiliki izin dari Kementrian Keuan-
gan atau tidak (Agus Suparto;2010). Hal itu
diperparah dengan kurangnya pemahaman
pengusaha terhadap profesi akuntan publik
dan maksud dari laporan yang diaudit masih
lemah (Agus Suparto; 2010). Padahal lapo-
ran keuangan yang baik adalah laporan
keuangan yang diaudit oleh kantor akuntan
publik yang berijin (Agus Suparto; 2010).
Menurut Setyarno dkk (2006),
Reputasi KAP didasarkan pada kepercayaan
pemakai jasa auditor bahwa auditor
monitoring
umum tidak dapat diamati. KAP yang
memiliki reputasi tinggi menjelaskan adanya
sikap
independensi
auditor
dalam
melaksanakan tugas audit (Efraim; 2010).
Masih menurut Efraim bahwa KAP besar
identik dengan KAP bereputasi tinggi dalam
hal ini menunjukkan kemampuan auditor
untuk
bersikap
independen
dalam
melaksanakan audit secara professional
(Efraim; 2010).
Reputasi KAP dalam penelitian
sering dikelompokkan berdasarkan skala
the bignon-big
four
audit oleh auditor yang memiliki reputasi
baik cenderung lebih pendek dikarenakan
Dr. Ely Suhayati, SE., MSi, Ak.