Majalah Ilmiah UNIKOM
Vol.13 No. 1
78
H a l a m a n
Kolonial mengambil lahan-lahan milik petani
dan kemudian memberikannya kepada pen-
gusaha untuk djadikan perkebunan maupun
eigendom
pemerintah kolonial juga memberikan hak
erpacht
da asing, baik perorangan maupun berba-
dan hukum.
Agrarische
Wet
mengelola tanah di Indonesia karena terjadi
dualisme peraturan, yaitu hukum tanah
menurut barat dan hukum tanah menurut
adat yang sudah ada secara turun temurun.
Namun untuk mensiasati pengelolaan tanah
yang haknya ditujukan kepada kaum pribu-
mi, maka pemerintah kolonial membentuk
individu-individu penguasa tanah baru mau-
pun mengukuhkan tuan tanah yang sudah
ada di masyarakat pribumi melalui hak
eigendom
Mulai dari kaum ningrat, bupati, maupun
kepala adat diberikan hak eigendom untuk
mengelola tanah, sementara orang-orang
yang dulunya tinggal di tanah tersebut men-
jadi penggarap yang harus membayar upeti
pada penguasa tanah. Individu yang telah
ditetapkan pemerintah Kolonial untuk me-
megang hak atas tanah tidaklah gratis,
mereka harus bayar sesuai dengan ketentu-
an yang telah ditetapkan oleh pemerintah
kolonial.
Pada saat Indonesia berhasil merebut ke-
merdekaannya maka fokus utama para pen-
dri bangsa ini adalah membuat satu sistem
baru untuk mengelola sumber agraria, khu-
susnya tanah. Susunan falsafah bangsa dan
konstitusi Negara ini dibuat untuk melibat-
kan rakyat Indonesia dalam pengelolaan
sumber agraria (tanah) sehingga kemakmu-
ran dan kesejahteraan bisa terwujud. Untuk
melahirkan UU agraria yang baru, maka
pemerintah Indonesia mengeluarkan UU
No.13/1948 tentang pengadaan perubahan
Vorstenlands Groundhuurreglement
Maksud dari UU ini adalah mencabut hak
kesultanan Surakarta dan Yogyakarta
dengan peraturan yang baru. Lalu diben-
tuklah panitia UU Pokok Agraria pada tahun
yang sama. Panitia ini dibentuk bertujuan
untuk membuat satu UU Agraia yang akan
djalankan di tingkat nasional, membentuk
satu UU payung untuk mengatur pengel-
olaan sumber agrarian sebagai satu
rangkaian revolusi sosial serta mengganti
uu agrarian buatan kolonial. Dalam pros-
esnya panitia ini mengalami berbagai ken-
dala terjadinya agresi miter dan pemberon-
takan di tanah air.
Dengan segala hambatan tersebut, UUPA
berhasil disahkan oleh Soekarno pada 24
September 1960. Meletusnya peristiwa
Gerakan satu Oktober 1965 (Gestok) mem-
buat UU ini tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, bahkan pemerintahan orde baru
menenggelamkannya bersama isu PKI
(penulis membahas hal ini dalam penelitian
“Komunikasi Politik dalam Konflik Agraria”).
Gerakan untuk kembali menjalankan UUPA
1960 mulai berjalan pasca Suharto lengser.
Gerakan untuk menjalankan agraria dan isu
“tanah untuk rakyat” semakin massif saat
MPR mengesahkan TAP MPR No. IX/2001.
Perjalanan politik hukum agraria tentu tidak
bisa dipisahkan dari gerakan rakyat, terma-
suk gerakan tani. Tanah sebagai sumber
segala kehidupan membuat petani berjuang
untuk mendapatkan hak atas tanah sampai
titik penghabisan. Tanah merupakan simbol
kemerdekaan bagi petani yang dari tanah
tersebut mereka akan menjadikan ke-
hidupannya lebih baik secara ekonomi, so-
sial dan budaya. Gerakan tani di Indonesia
memiliki warna yang berbeda pada setiap
zaman,
mulai
zaman
kolonial,
ke-
merdekaan, ORBA dan reformasi. Bagaima-
na peranan perempuan tani dalam gerakan
massa tani di tanah air ini?
Menyikapi berbagai kebijakan yang tidak
adil, para perempuan perlu lebih kritis dan
berani menyampaikan pendapat. Perempu-
an tani terlibat aktif dalam gerakan tani dari
masa ke masa. Hal itu dapat terlihat dari
aksi-aksi organisasi massa tani baik local
maupun nasional dalam setiap konflik per-
tanahan antara pengusaha dengan rakyat
maupun Negara versus rakyat. Perempuan
tani juga memberikan kontribusi yang besar
Aulia Asmarani