Majalah Ilmiah UNIKOM
Vol.13 No. 1
80
H a l a m a n
kan (analitis) tetapi juga memadukan
(sintetis).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinamika perjuangan menuju reforma agrar-
ia di Indonesia mengalami pasang surut di
setiap zamannya. Frans Magnis menyebut-
kan bahwa kekuasaan akan mantap jika
memiliki legitimasi. Legitimasi yang dimak-
sud dibagi dalam tiga kategori yaitu legiti-
masi legalitas (kekuasaan diakui secara
hukum), legitimasi demokratis (kekuasaan
Negara harus mendapat pengakuan dari
seluruh rakyat) dan legitimasi normatif
(menitikberatkan kekuasaan secara etis
dan moralistis).
Bentuk legitimasi kekuasaan yang banyak
dipakai oleh Negara-negara di dunia, terma-
suk di Indonesia adalah legitimasi legalitas.
Negara berhak melakukan tindakan apapun
karena sesuai dengan aturan hukum. Suatu
tindakan dianggap sah karena tidak sesuai
dengan hukum.
Prinsip ini mendorong pemerintah sebagai
penyelenggara Negara dalam menguatkan
eksistensinya bernaung dalam hukum/
aturan, termasuk untuk memaksa rakyatnya
melakukan atau tidak melakukan suatu
tindakan. Karena pada dasarnya, kendati
legitimasi kekuasaan Negara bergantung
pada hukum, hukumpun dibuat oleh penye-
lenggara Negara dengan kekuasaannya.
Hal tersebut terjadi dalam pengambilan ke-
bijakan pengelolaan sumber-sumber agraria
dan pelaksanaannya. Indonesia secara ter-
us menerus dibentuk menjadi Negara ne-
oliberal dalam rangka melancarkan beker-
janya ekonomi pasar kapitalis di jaman glob-
alisasi sekarang ini. Pasar kapitalis membu-
at segala hal dikomodifikasi menjadi barang
dagangan. Namun khusus untuk tanah
(atau lebih luas alam),pasar kapitalis tidak
akan pernah berhasil mengkomodifikasi
sepenuhnya. Karl Polanyi percaya bahwa
alam sesungguhnya bukanlah komoditi.
Alam melekat sepenuhnya pada relasi-relasi
social. Jadi mereka yang memperlakukan
tanah atau alam sepenuhnya sebagai ko-
moditi, sesungguhnya bertentangan dengan
hakekat tanah atau alam itu sendiri. Polanyi
fictitious commodity
(barang dagangan yang dibayangkan).
Menurut Polanyi memperlakukan tanah se-
bagai barang komoditi dengan mem-
isahkannya dari ikatan hubungan-hubungan
social yang melekat padanya, niscaya akan
menghasilkan guncangan-guncangan yang
menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan
hidup masyarakat tersebut. Kemudian akan
ada gerakan tandingan untuk melindungi
masyarakat dari kerusakan yang lebih par-
ah.
Alam (dan juga tenaga kerja) merupakan
syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan
alam dan juga tenaga kerja dalam
mekanisme pasar adalah merendahkan
hakekat masyarakat, dan dengan demikian
menyerahkan begitu saja pengaturan ke-
hidupan masyarakat pada mekanisme
pasar.
Dengan kebijakan agraria Indonesia yang
dihasilkan dari orientasi ekonomi dan politik
pemerintah dari pasca colonial hingga kini,
maka tidaklah mengherankan jika konflik-
konflik agraria structural terus berlangsung
hingga kini.
Konflik agraria struktural semacam ini
dilestarikan oleh tidak adanya koreksi/ralat
atas putusan-putusan pejabat public
(Menteri kehutanan, Kepala Badan Per-
tanahan Nasional, Menteri ESDM, Gubrenur
dan Bupati) yang memasukkan tanah, sum-
ber daya alam dan wilayah hidup rakyat ke
dalam konsesi Badan Usaha raksasa untuk
produksi, ekstraksi maupun konversi. Se-
bagaimana yang kita ketahui bahwa ber-
dasarkan kewenangannya, pejabat-pejabat
public tersebut dimotivasi oleh keperluan
perolehan rente maupun untuk pertum-
buhan ekonomi, mereka melanjutkan dan
terus-menerus memproses pemberian izin/
hak pada badan-badan usaha/proyek
raksasa tersebut. Bila suatu koreksi
demikian dilakukan, pejabat-pejabat public
dapat dituntut
Aulia Asmarani