Majalah Ilmiah UNIKOM
Vol.13 No. 1
81
H a l a m a n
balik oleh perusahaan-perusahaan yang
konsesinya dikurangi atau apalagi dibatal-
kan. Resiko kerugian yang bakal diderita
bila kalah di PTUN tentu dihindari oleh para
pejabat publik yang bersangkutan.
Hilangnya tanggung jawab partai dalam
melakukan kaderisasi yang ideologis dan
berbasis massa telah menjadikan Indonesia
krisis pemimpin yang benar-benar peduli
terhadap nasib rakyat, termasuk pemimpin
yang peduli terhadap persoalan-persoalan
agraria. Akhirnya rakyat menyelesaikan
sendiri konflik agraria dengan caranya. Da-
lam gerakan rakyat tani tidak bisa terlepas
dari tiga unsur, yaitu pemimpin massa,
penggerak massa, dan massa tani. Ketiga
unsur ini harus bisa bekerja sama untuk
mendorong satu agenda kepentingan rakyat
tani. Jika salah satu unsur ini menyimpang
maka dorongan untuk mencapai cita-cita
luhur memajukan petani, baik dari segi
ekonomi, sosial, politik dan budaya tidak
akan terwujud.
Konflik agraria terjadi pula di kampong pal-
intang
desa
cipanjalu
kecamatan
Cilengkrang, Kabupaten Bandung antara
warga sekitar hutan dengan Perhutani Ka-
bupaten Bandung dan Kabupaten Mangla-
yang.
Palintang merupakan nama sebuah kam-
pung di desa Cipanjalu kecamatan
Cilengkrang kabupaten bandung. Kampong
palintang terdiri dari 3 RW mencakup ku-
rang lebih 600 KK. Posisi geografis kam-
pong ini diapit oleh 2 pegunungan. Yaitu
gunung palasari dan gunung manglayang.
Gunung palasari menjadi wilayah kuasa
Kehutanan kabupaten bandung. Gunung
manglayang menjadi wilayah kuasa kehu-
tanan Sumedang. Jadi sebagian besar mata
pencaharian warga palintang adalah petani
hutan di wilayah dua kehutanan tersebut.
Mereka menanam kopi dan beberapa tana-
man keras serta sayur mayur. Ada dua jenis
kopi yang ditanam di sana. Yaitu kopi arabi-
ka dan kopi perkawinan seperti kopi ateng
yang didatangkan bibitnya dari pen-
galengan. tanaman keras mereka tanam
untuk menjaga ekologi hutan. Menurut
petani palintang, lahan hutan yang mereka
kelola dan jaga selama ini adalah pinjaman
dari lahan anak cucu mereka kelak.
Namun dalam perjalanannya petani palin-
tang juga mengalami proses konflik yang
luar biasa. Sempat beberapa kali kehutanan
menutup kawasannya untuk warga palin-
tang dengan berbagai alasan seperti keru-
sakan hutan, penjarahan dan sebagainya
selama beberapa tahun. Warga kampong
Palintang yang memang memiliki mata pen-
caharian pokok bertani menjadi kritis. Mere-
ka kelaparan dan banyak anak putus
sekolah. Dalam kondisi memprihatinkan
tersebut perempuan petani kampong palin-
tang memberikan kiprahnya. Mereka mem-
bentuk
kelompok
perempuan
untuk
melakukan berbagai aktivitas yang mem-
bantu keperluan domestic seperti, arisan
sembako, arisan beras, tabungan simpan
pinjam dan ikut serta dalam berbagai per-
temuan juga aksi-aksi organisasi tani na-
sional.
Bu Nih, seorang perempuan tani yang mem-
impin perjuangan perebutan tata kuasa la-
han hutan di Perhutani kawasan Bandung
kabupaten Bandung, tidak menggunakan
perspektif keperempuanan dalam proses
pergerakan organisasi taninya. Dia melepas-
kan dinding pemisah gender social maupun
sex. Dia dipandang sebagai pimpinan perge-
rakan petani secara umum, bukan karena
sosok dia sebagai perempuan.
Ketidaksetaraan gender bukan hanya perso-
alan perempuan. Ketika seorang perempu-
an dirugikan, pada saat yang sama laki-laki
juga dirugikan. Kesetaraan gender berarti
tidak ada pihak yang mendominasi, sebab
dominasi gender itu dapat dilakukan baik
oleh laki-laki maupun perempuan.
Bu Nih beranggapan tidak perlu ada dikoto-
mi gender dalam perjuangan reforma agrar-
ia terutama dalam fase tata kuasa. petani,
baik itu perempuan ataupun laki-laki mau
merebut kembali kuasa atas tanah. Jika
mereka melihat Bu Nih sebagai pemimpin
yang “tidak layak” karena sebab kultural,
maka sejak awal perjuangan mereka sudah
gagal.
Aulia Asmarani