Majalah Ilmiah UNIKOM
Vol.14 No. 1
7
H a l a m a n
Hofstede, G. mendefinisikan kebudayaan
sebagai,
The position that the ideas,
meanings, beliefs and values people
learn as members of society
determines human nature. People
are what they learn. Optimistic
version of cultural determinism place
no limits on the abilities of human
beings to do or to be whatever they
want. Some anthropologists suggest
that there is no universal "right way"
of being human. "Right way" is
almost always "our way"; that "our
way" in one society almost never
corresponds to "our way" in any other
society. Proper attitude of an
informed human being could only be
that of tolerance
Kebudayaan, dalam pengertian ini, tidak
berhenti dengan pemahaman akan prilaku
dan cara berpikir. Kebudayaan juga
melibatkan kepercayaan individu sosial
terhadap Tuhannya serta pandangan politik
yang dipelajari dan dijalaninya. Nilai-nilai
tersebut lah yang menentukan nilai
kemanusiaan seseorang dalam suatu
masyarakat.
Benar atau tidaknya suatu nilai ditentukan
oleh cara setiap masyarakat menjalani
kehidupan bermasyarakatnya. Oleh sebab
itu, sangat lah wajar jika ditemukan begitu
banyak perbedaan yang dimiliki antar
masyarakat; masyarkat hidup dengan nilai
dan caranya sendiri termasuk memandang
benar atau tidaknya suatu masalah.
Bertolak dari pemahaman tersebut di atas,
kebudayaan yang mencerminkan pola pikir
dan cara masyarakat berprilaku akan
berbeda bagi setiap negara. Indonesia dan
Jepang merupakan negara tetangga yang
tak luput dari perbedaan ini. Akan tetapi,
perbedaan ini bukan lah isu yang musti
dipertentangkan, melainkan alternatif
pembelajaran dalam bermasyarakat dan
(Continued from page 6)
berbudaya termasuk kearifan lokal negara
Jepang dalam mengatasi masalah banjir
yang dihadapinya.
3. Budaya dan Pola Pikir Orang Jepang
Pada zaman dahulu, masyarakat Jepang
sebenarnya tidak jauh dari masyarakat Indo-
nesia yaitu masyarakat agraris. Pada masa
kome no bunka
Jepang hidup berkelompok. Dan mereka
menjaga hubungan baik antar anggota ke-
lompoknya agar panen yang dihasilkan
melimpah. Sering mereka mengorbankan
kepentingan atau keinginan pribadi yang
bisa merusak kepentingan umum. Sehingga
dapat dikatakan tidak masalah minum ber-
sama kalau hal tersebut akan mendorong
kerukunan di komunitasnya.
Sejalan dengan berkembangnya zaman,
kelompok-kelompok kecil itu pun kemudian
berkembang menjadi besar dan batas men-
jaga kerukunan di dalam komunitasnya pun
semakin melebar menjadi desa, kota,
bahkan negara. Pada masa pemerintahan
bushi-
doubushid
Kamakura yang mengadopsi paham Neo
konfusianisme pada zaman Edo yang
bushidou
bangsa Jepang setelah restorasi Meiji.
Bushidouinvolved not only martial spirit
and skill with weapons, but also absolute
loyalty to one’s lord, a strong sense of per-
sonal honor, devotion to duty, and the cour-
age, if required, to sacrifice one’s life in bat-
tle or in ritualBushidou,
Dengan pola pikir Bushidou dimana orang
Jepang sangat loyal terhadap pemerintah
bahkan rela mati demi Negara menjadi da-
sar moral yang kuat dalam membangun
bangsanya.
Bushidou
gambari
gambatte
trend
Gambattegambaru.
Gambatte
Pitri Haryanti, Retno Purwani Sari, Soni Mulyawan